PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK SAPI BRAHMAN CROSS MELALUI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN SPERMA SEXING DAN TEKNOLOGI BIOGAS
A. Latar Belakang
Pengembangan sapi potong di Sulawesi Selatan sudah sejak dulu diusahakan oleh masyarakatnya dengan kemampuan yang dimiliki dan sumberdaya alamnya yang sangat mendukung sehingga mengantar Sulawesi Selatan sebagai penghasil emas merah (daging sapi) yang cukup besar di Indonesia yang dikenal dengan penghasil sapi Bali. Namun beberapa tahun terakhir ini dengan nama besar yang disandangnya menjadikan propinsi ini lupa diri sehingga menjadi devisit karena tidak membatasi ternak yang keluar dan jumlah pemotongan ternak yang terus meningkat setiap tahunnnya tanpa dibarengi dengan peningkatan populasi dan perbaikan genetik.
Statistik terakhir mencatat bahwa jumlah sapi potong di Sulawesi Selatan tahun 2000 berjumlah 718.164 ekor dan untuk tahun 2004 tinggal 627.981 ekor yang artinya populasi sapi potong dalam kurun waktu tersebut mengalami penurunan secara signifikan, sedang jumlah penyembelihan sapi baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat di RPH untuk tahun 2004 keseluruhannya berjumlah 62.029 ekor. Bila jumlah tersebut ditambahkan dengan penyembelihan gelap, maka jumlah sapi secara komulatif yang dipotong berjumlah 74.242 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan., 2005).
Untuk mengembalikan nama besar propinsi ini tidak ada kata terlambat untuk menyadari kekurangan yang selama ini dialami. Sudah saatnya memanfaatkan kondisi sekarang yang mana masyarakat sudah mulai sadar pentingnya mengelola peternakan dengan baik, karena dengan berternak dengan manajemen yang baik dapat memperoleh hasil lebih baik dibandingkan dengan pengelolaan yang dilakukan oleh pendahulunya. Untuk merespon hal ini seharusnya dilakukan dengan introduksi teknologi peternakan seperti manajemen pakan, teknologi reproduksi, pengolahan hasil petenakan dan pengolahan limbah.
Introduksi teknologi sebenarnya sudah sejak lama dikenal namun masih terkendala dalam penerapannya karena selama ini usaha peternakan sapi potong yang dikelola masyarakat dicirikan dengan skala usaha kecil dengan kepemilikan modal kecil, serta sebagian besar merupakan usaha sampingan. Hal ini menyebabkan jumlah rumah tangga yang dilibatkan sangat besar, bahkan mencapai 60% rumah tangga petani (Ali, dkk, 2006). Masyarakat pada umumnya takut mengambil resiko dengan mengubah kebiasaanya atau menerima teknologi baru, ketakutan ini cukup beralasan karena ternak sapi bagi sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan merupakan tabungan keluarga dimana ternak akan dijual apabila sudah memerlukan uang yang cukup besar, sehingga walaupun ternaknya sudah memilki nilai ekonomis tinggi, namun belum membutuhkan biaya yang besar ternak tersebut masih dipertahankan dan begitu pula sebaliknya apabila sudah saatnya memebutuhkan biaya besar maka ternak tersebut akan dijual walupun nilai ekonomisnya masih rendah sehingga menyebabkan usahanya menjadi tidak efisien.
Hal lain yang menyebabkan rendahnya penyerapan teknologi adalah rendahnya pendapatan peternak karena masih merupakan usaha sampingan sehingga masyarakat enggang mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara maksimal, sedangkan penerapan teknologi memelukan biaya tambahan walau mereka tidak sadar bahwa dengan mengeluarkan sedikit tambahan biaya akan memperoleh mamfaat yang lebih besar untuk peningkatan pendapatan dimasa yang akan datang.
Teknologi yang dapat diterapkan dan sangat dibutuhkan dalam peningkatan populasi, perbaikan lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarkat adalah Inseminasi Buatan Sperma Sexing dan teknologi biogas. Inseminasi buatan sperma sexing adalah teknologi kawin suntik dengan sperma yang sudah diketahui jenis kelamin yang kita inginkan. Teknologi ini diharapkan dapat memperpendek jarak reproduksi yang dengan kawin alam yaitu 28-36 bulan diharapkan dengan teknologi ini dapat diperpendek menjadi 14-16 bulan dan jenis kelamin yang dilahirkan sesuai dengan keinginan dan memperbaiki genetik karena kita dapat memasukkan jenis sapi dengan genetik yang unggul. Teknologi biogas adalah teknologi pemanfaatan feces menjadi gas yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan rumahtangga seperti untuk memasak sebagai pengganti kayu bakar dan minyak tanah, sedangkan limbah biogas itu sendiri yang terdiri dari limbah padat dan cair merupakan sumber pupuk yang sangat potensial karena bersumber dari bahan organik sehingga ramah lingkungan dan sangat membantu usaha pertanian. Sebagian besar peternak secara bersama-sama megelola pertanian sehingga pola ini sangat cocok untuk diintegrasikan, pola seperti ini akan mengurangi input dari luar sehingga petani peternak dapat menguragi pengeluaran dan pendapatan akan meningkat.
Untuk dapat menerapkan teknologi tersebut tentu memerlukan sumberdaya manusia yang berkulitas, namun Sulawesi Selatan memiliki Univesitas Hasanuddin yang merupakan universitas terkemuka di Indonesia dengan Fakultas Peternakannya setiap tahunnya melahirkan sarjana baru yang dapat diandalkan untuk menerapkan teknologi tersebut dimasyarakat.
Keterlibatan pihak akademik lam pnerapan teknologi sudah dilaksanakan dibeberapa daerah seperti di Kabupaten Enrekang dengan pemanfaatan hasil olahan limbah seperti biogas sebagai pengganti bahan bakar juga pupuk organik yang dihasilkan dari hasil permentasi biogas. Konsep ini merupakan usahatani terpadu dengan konsep zero waste. Konsep ini juga telah diperkenalkan melalui kegiatan IPTEKDA IX LIPI kerjasama Yayasan Al-Basyard dengan Fakultas Peternakan Unhas melalui integrasi penggemukan sapi dengan perkebunan kakao dan vanili (lampiran gambar) berjalan dengan baik. Sebagai gambaran, kebun kakao dan vanili UKM pelaksana yang dulunya membutuhkan pupuk anorganik sejumlah 800 – 900 kg pertahun per hektarnya saat ini tidak lagi menggunakan pupuk anorganik tetapi hanya menggunakan pupuk organik padat dan cair yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Hal ini di dukung karena konstruksi kandang memang diletakkan di tengah kebun petani sehingga memudahkan pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber pupuk organik.
Salah satu daerah yang sangat potensial untuk penerapan teknologi ini adalah Kabupaten Bulukumba mengingat letak daerah tersebut terletak didaerah selatan propinsi Sulawesi Selatan sehingga dapat menjadi cikal bakal penerapan teknologi untuk kabupaten yang ada disekitarnya. Potensi lain yang dimiliki oleh Kabupaten Bulukumba adalah populasi ternak sapinya yang cukup besar yaitu 65.114 ekor pada tahun 2006, dan memiliki lahan yang subur serta sumber pakan yang melimpah. Jenis sapi yang diternakkan pada umumnya sapi bali dengan pengelolaan yang selama ini dilakukan oleh masyrakatnya masih tradisional sehingga pendapatan yang diperoleh peternak masih rendah, sehingga diharapkan dengan kegiatan Peningkatan Pendapatan Peternak Sapi Brahman Cross Melalui Pengembangan Teknologi Inseminasi Buatan Sperma Sexing Dan Teknologi Biogas, dapat meningkatkan pendapatan peternak.
B. Tujuan dan Sasaran
B.1 Tujuan Kegiatan ini adalah :
1. Meningkatkan mutu genetik sapi potong sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan bibit/bakalan pada sumber luar negeri (import) melalui pendekatan bioteknologi serta introduksi bibit (semen) unggul melalui metoda inseminasi buatan berbasis sperma sexing.
2. Percepatan produksi bibit sapi potong bermutu untuk meningkatkan populasi sapi-sapi lokal (masyarakat dan mitra industri).
3. Meningkatkan potensi pengembangan dan pemanfaatan teknologi peternakan modern dalam sistem perbibitan (breeding) yang dikelola oleh mitra industri.
4. Introduksi inovasi teknologi yang well proven yang bermanfaat bagi peningkatan produktivitas ternak sapi potong dan perbaikan manajemen usaha (economic impact).
5. Merangsang peternak untuk mengikuti kegiatan penggemukan sapi potong dan pemanfaatan pupuk organik.
6. Meningkatkan pendapatan peternak melalui usaha pemeliharaan ternak sapi potong dan pengolahan limbah secara terpadu.
7. Mendukung penerapan teknologi pertanian organik ramah lingkungan untuk mewujudkan konsep Sustainable Agriculture.
B.2. Sasaran yang diharapkan dicapai adalah:
1. Meningkatkan produktivitas ternak sapi potong sebagai dampak upaya peningkatan mutu genetik ternak dari introduksi bibit unggul.
2. Meningkatkan ketersediaan sumber bibit yang unggul yang dapat disebar guna meningkatkan populasi ternak sapi potong sebagai upaya memenuhi kebutuhan pangan asal ternak.
3. Terbentuknya sentra perbibitan ternak sapi potong yang diindikasikan dengan meningkatnya populasi dasar induk sapi potong yang ada di unit perbibitan mitra industri.
4. Meningkatkan pemanfaatan inovasi teknologi, diantaranya teknologi perbibitan secara intensif (breeding intensif), produksi dan aplikasi teknologi inseminasi buatan berbasis sperma sexing, teknologi pengolahan limbah pertanian, serta pemanfaatan kotoran ternak sebagi sumber gasbio untuk produksi pupuk organic
5. meningkatnya pendapatan masyarakat karena meningkatnya nilai jual ternak sapi potong hasil IB dan terjadinya diversivikasi usaha (Memproduksi pupuk organik yang berkualitas dalam jumlah yang memadai melalui pemanfaatan kotoran ternak sapi potong)
6. Meningkatnya keterampilan peternak utamanya dalam inseminasi buatan sperma sexing dan teknologi biogas.
A. Latar Belakang
Pengembangan sapi potong di Sulawesi Selatan sudah sejak dulu diusahakan oleh masyarakatnya dengan kemampuan yang dimiliki dan sumberdaya alamnya yang sangat mendukung sehingga mengantar Sulawesi Selatan sebagai penghasil emas merah (daging sapi) yang cukup besar di Indonesia yang dikenal dengan penghasil sapi Bali. Namun beberapa tahun terakhir ini dengan nama besar yang disandangnya menjadikan propinsi ini lupa diri sehingga menjadi devisit karena tidak membatasi ternak yang keluar dan jumlah pemotongan ternak yang terus meningkat setiap tahunnnya tanpa dibarengi dengan peningkatan populasi dan perbaikan genetik.
Statistik terakhir mencatat bahwa jumlah sapi potong di Sulawesi Selatan tahun 2000 berjumlah 718.164 ekor dan untuk tahun 2004 tinggal 627.981 ekor yang artinya populasi sapi potong dalam kurun waktu tersebut mengalami penurunan secara signifikan, sedang jumlah penyembelihan sapi baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat di RPH untuk tahun 2004 keseluruhannya berjumlah 62.029 ekor. Bila jumlah tersebut ditambahkan dengan penyembelihan gelap, maka jumlah sapi secara komulatif yang dipotong berjumlah 74.242 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan., 2005).
Untuk mengembalikan nama besar propinsi ini tidak ada kata terlambat untuk menyadari kekurangan yang selama ini dialami. Sudah saatnya memanfaatkan kondisi sekarang yang mana masyarakat sudah mulai sadar pentingnya mengelola peternakan dengan baik, karena dengan berternak dengan manajemen yang baik dapat memperoleh hasil lebih baik dibandingkan dengan pengelolaan yang dilakukan oleh pendahulunya. Untuk merespon hal ini seharusnya dilakukan dengan introduksi teknologi peternakan seperti manajemen pakan, teknologi reproduksi, pengolahan hasil petenakan dan pengolahan limbah.
Introduksi teknologi sebenarnya sudah sejak lama dikenal namun masih terkendala dalam penerapannya karena selama ini usaha peternakan sapi potong yang dikelola masyarakat dicirikan dengan skala usaha kecil dengan kepemilikan modal kecil, serta sebagian besar merupakan usaha sampingan. Hal ini menyebabkan jumlah rumah tangga yang dilibatkan sangat besar, bahkan mencapai 60% rumah tangga petani (Ali, dkk, 2006). Masyarakat pada umumnya takut mengambil resiko dengan mengubah kebiasaanya atau menerima teknologi baru, ketakutan ini cukup beralasan karena ternak sapi bagi sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan merupakan tabungan keluarga dimana ternak akan dijual apabila sudah memerlukan uang yang cukup besar, sehingga walaupun ternaknya sudah memilki nilai ekonomis tinggi, namun belum membutuhkan biaya yang besar ternak tersebut masih dipertahankan dan begitu pula sebaliknya apabila sudah saatnya memebutuhkan biaya besar maka ternak tersebut akan dijual walupun nilai ekonomisnya masih rendah sehingga menyebabkan usahanya menjadi tidak efisien.
Hal lain yang menyebabkan rendahnya penyerapan teknologi adalah rendahnya pendapatan peternak karena masih merupakan usaha sampingan sehingga masyarakat enggang mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara maksimal, sedangkan penerapan teknologi memelukan biaya tambahan walau mereka tidak sadar bahwa dengan mengeluarkan sedikit tambahan biaya akan memperoleh mamfaat yang lebih besar untuk peningkatan pendapatan dimasa yang akan datang.
Teknologi yang dapat diterapkan dan sangat dibutuhkan dalam peningkatan populasi, perbaikan lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarkat adalah Inseminasi Buatan Sperma Sexing dan teknologi biogas. Inseminasi buatan sperma sexing adalah teknologi kawin suntik dengan sperma yang sudah diketahui jenis kelamin yang kita inginkan. Teknologi ini diharapkan dapat memperpendek jarak reproduksi yang dengan kawin alam yaitu 28-36 bulan diharapkan dengan teknologi ini dapat diperpendek menjadi 14-16 bulan dan jenis kelamin yang dilahirkan sesuai dengan keinginan dan memperbaiki genetik karena kita dapat memasukkan jenis sapi dengan genetik yang unggul. Teknologi biogas adalah teknologi pemanfaatan feces menjadi gas yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan rumahtangga seperti untuk memasak sebagai pengganti kayu bakar dan minyak tanah, sedangkan limbah biogas itu sendiri yang terdiri dari limbah padat dan cair merupakan sumber pupuk yang sangat potensial karena bersumber dari bahan organik sehingga ramah lingkungan dan sangat membantu usaha pertanian. Sebagian besar peternak secara bersama-sama megelola pertanian sehingga pola ini sangat cocok untuk diintegrasikan, pola seperti ini akan mengurangi input dari luar sehingga petani peternak dapat menguragi pengeluaran dan pendapatan akan meningkat.
Untuk dapat menerapkan teknologi tersebut tentu memerlukan sumberdaya manusia yang berkulitas, namun Sulawesi Selatan memiliki Univesitas Hasanuddin yang merupakan universitas terkemuka di Indonesia dengan Fakultas Peternakannya setiap tahunnya melahirkan sarjana baru yang dapat diandalkan untuk menerapkan teknologi tersebut dimasyarakat.
Keterlibatan pihak akademik lam pnerapan teknologi sudah dilaksanakan dibeberapa daerah seperti di Kabupaten Enrekang dengan pemanfaatan hasil olahan limbah seperti biogas sebagai pengganti bahan bakar juga pupuk organik yang dihasilkan dari hasil permentasi biogas. Konsep ini merupakan usahatani terpadu dengan konsep zero waste. Konsep ini juga telah diperkenalkan melalui kegiatan IPTEKDA IX LIPI kerjasama Yayasan Al-Basyard dengan Fakultas Peternakan Unhas melalui integrasi penggemukan sapi dengan perkebunan kakao dan vanili (lampiran gambar) berjalan dengan baik. Sebagai gambaran, kebun kakao dan vanili UKM pelaksana yang dulunya membutuhkan pupuk anorganik sejumlah 800 – 900 kg pertahun per hektarnya saat ini tidak lagi menggunakan pupuk anorganik tetapi hanya menggunakan pupuk organik padat dan cair yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Hal ini di dukung karena konstruksi kandang memang diletakkan di tengah kebun petani sehingga memudahkan pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber pupuk organik.
Salah satu daerah yang sangat potensial untuk penerapan teknologi ini adalah Kabupaten Bulukumba mengingat letak daerah tersebut terletak didaerah selatan propinsi Sulawesi Selatan sehingga dapat menjadi cikal bakal penerapan teknologi untuk kabupaten yang ada disekitarnya. Potensi lain yang dimiliki oleh Kabupaten Bulukumba adalah populasi ternak sapinya yang cukup besar yaitu 65.114 ekor pada tahun 2006, dan memiliki lahan yang subur serta sumber pakan yang melimpah. Jenis sapi yang diternakkan pada umumnya sapi bali dengan pengelolaan yang selama ini dilakukan oleh masyrakatnya masih tradisional sehingga pendapatan yang diperoleh peternak masih rendah, sehingga diharapkan dengan kegiatan Peningkatan Pendapatan Peternak Sapi Brahman Cross Melalui Pengembangan Teknologi Inseminasi Buatan Sperma Sexing Dan Teknologi Biogas, dapat meningkatkan pendapatan peternak.
B. Tujuan dan Sasaran
B.1 Tujuan Kegiatan ini adalah :
1. Meningkatkan mutu genetik sapi potong sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan bibit/bakalan pada sumber luar negeri (import) melalui pendekatan bioteknologi serta introduksi bibit (semen) unggul melalui metoda inseminasi buatan berbasis sperma sexing.
2. Percepatan produksi bibit sapi potong bermutu untuk meningkatkan populasi sapi-sapi lokal (masyarakat dan mitra industri).
3. Meningkatkan potensi pengembangan dan pemanfaatan teknologi peternakan modern dalam sistem perbibitan (breeding) yang dikelola oleh mitra industri.
4. Introduksi inovasi teknologi yang well proven yang bermanfaat bagi peningkatan produktivitas ternak sapi potong dan perbaikan manajemen usaha (economic impact).
5. Merangsang peternak untuk mengikuti kegiatan penggemukan sapi potong dan pemanfaatan pupuk organik.
6. Meningkatkan pendapatan peternak melalui usaha pemeliharaan ternak sapi potong dan pengolahan limbah secara terpadu.
7. Mendukung penerapan teknologi pertanian organik ramah lingkungan untuk mewujudkan konsep Sustainable Agriculture.
B.2. Sasaran yang diharapkan dicapai adalah:
1. Meningkatkan produktivitas ternak sapi potong sebagai dampak upaya peningkatan mutu genetik ternak dari introduksi bibit unggul.
2. Meningkatkan ketersediaan sumber bibit yang unggul yang dapat disebar guna meningkatkan populasi ternak sapi potong sebagai upaya memenuhi kebutuhan pangan asal ternak.
3. Terbentuknya sentra perbibitan ternak sapi potong yang diindikasikan dengan meningkatnya populasi dasar induk sapi potong yang ada di unit perbibitan mitra industri.
4. Meningkatkan pemanfaatan inovasi teknologi, diantaranya teknologi perbibitan secara intensif (breeding intensif), produksi dan aplikasi teknologi inseminasi buatan berbasis sperma sexing, teknologi pengolahan limbah pertanian, serta pemanfaatan kotoran ternak sebagi sumber gasbio untuk produksi pupuk organic
5. meningkatnya pendapatan masyarakat karena meningkatnya nilai jual ternak sapi potong hasil IB dan terjadinya diversivikasi usaha (Memproduksi pupuk organik yang berkualitas dalam jumlah yang memadai melalui pemanfaatan kotoran ternak sapi potong)
6. Meningkatnya keterampilan peternak utamanya dalam inseminasi buatan sperma sexing dan teknologi biogas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar